Terpidana Korupsi Hibah PJU Lamongan Ajukan Penerapan PP 24, Bongkar HA Pelaku Utama!

Reporter : Rofiq Kurdi  |   Kamis, 18 Sep 2025 17:37 WIB
PENERAPAN PP 24: Raja Butar-Butar, salah seorang kuasa hukum Jonathan Dunan di Kejati Jatim. | Foto: Barometerjatim.com/RQ

SURABAYA | Barometer Jatim – Siap-siap! Perkara korupsi hibah bantuan lampu penerangan jalan umum (PJU) tenaga surya pada Dinas Perhubungan (Dishub) Jatim di Kabupaten Lamongan tahun anggaran 2020 yang telah memenjarakan 4 orang, bisa jadi meledak lagi.

Ini setelah salah seorang terpidana, Jonathan Dunan yang divonis 12 tahun penjara dan membayar uang pengganti Rp 30 miliar subsider 4 tahun penjara, mengajukan permohonan penerapan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 Tahun 2025 yang mengatur penanganan secara khusus dan pemberian reward bagi saksi pelaku ke Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jatim, Senin (15/9/2025).

Baca juga: Gandeng LPK dan BPR Jatim, Jairi Irawan Cari Solusi Lulusan Stikes Bisa Kerja di LN!

Selain Jonathan yang saat kasus terjadi menjabat Direktur PT Sumber Energi Terbarukan Indonesia (SETI), 3 terpidana lainnya dari kelompok masyarakat (Pokmas) yakni Supartin, David Rosyidi, dan Fitri Yadi masing-masing divonis 5,5 tahun penjara.

Jonathan yang diwakili kuasa hukumnya dari kantor hukum RF Law Firm, dalam surat permohonan Nomor 003/RF.Law Firm/Permohonan/12.IX/2025 menyebutkan, penerapan PP 24/2025 diajukan mengingat dalam proses persidangan sudah mengajukan diri sebagai justice collaborator (JC).

Dia sangat berharap perkara korupsi PJU dapat berjalan dan atau berproses lagi, lantaran masih ada beberapa pihak yang diduga menerima keuntungan secara melawan hukum namun tidak dijadikan tersangka.

“Jadi begini. Dalam PP 24 Tahun 2025 yang telah dikeluarkan Presiden Prabowo Subianto itu memberikan ruang terhadap terpidana dapat bekerja sama dengan APH (Aparat Penegak Hukum) untuk membuka suatu perkara yang dianggap belum selesai,” terang salah seorang Kuasa Hukum Jonathan, Fadel Muhammad Habibie dari kantor hukum RF Law Firm, Kamis (18/9/2025).

TANDA TERIMA: Surat pengajuan penerapan PP 24 Tahun 2025 untuk Jonathan Dunan diterima Kejati Jatim. | Foto: IST

“Kami selaku kuasa hukum dari Pak Jonatan, mengajukan penerapan PP itu ke Kejati Jatim. Tujuannya apa, Karena kami menanggap perkara ini belum selesai,” tandasnya.

Kenapa bukan ke Kejari Lamongan? “Kami menganggap, ini anggapan pribadi, Kejari Lamongan sampai saat ini belum bisa menyelesaikan perkara ini. Makanya kami mengadu ke instansi yang lebih tinggi,” ucap Fadel.

Lagi pula perlu diingat, sambungnya, kerugian negara dalam perkara ini cukup besar, yakni Rp 40,9 miliar dari nilai proyek Rp 75,3 miliar yang disalurkan kepada 247 kelompok masyarakat (Pokmas).

Pembebasan Bersyarat

Permohonan penerapan PP 24 tahun 2025 dilayangkan, terang Fadel, karena peraturan tersebut menyebutkan untuk pelaku tindak pidana yang bekerja sama bisa diberi reward atau hadiah berupa hingga pembebasan bersyarat.

“Itu kami anggap penting untuk klien kami. Pada waktu tersangka sudah boleh mengajukan, terpidana pun diberi ruang untuk mengajukan. Jadi menurut pandangan kami, ini adalah aturan pelaksana dari JC yang lebih dikembangkan,” kata Fadel.

“Sehingga terpidana pun memiliki ruang untuk menuntut haknya, ketika merasa suatu putusan itu tidak adil untuknya. Kebetulan, prinsipal kami merasa bahwa perkara ini tidak adil untuknya,” sambungnya.

Tidak adilnya di mana? Fadel menjelaskan, kliennya memang dijerat dengan pasal 2 terkait memperkaya diri atau orang lain. Hanya saja keuntungannya tidak cuma Jonathan yang menikmati, tapi ada pihak-pihak lain yang juga menikmati dan sampai sekarang belum diproses hukum.

Siapa pihak yang dimaksud? “Inisialnya HA. Saya kurang tahu pasti (jabatannya saat ini), kelihatannya beliau sekarang legislatif (anggota DPRD) Jatim,” ujarnya.

Baca juga: Pendapatan APBD Jatim 2026 Anjlok Rp 9,1 T, Khofifah Tepis Tak Bisa Kelola Keuangan!

Fadel menegaskan, harus diingat pula bahwa penanganan perkara pidana, khususnya tindak pidana korupsi, salah satunya yakni follow the money, uang tersebut mengalir ke mana.

“Kalau mengalirnya berhenti di klien kami ndak apa-apa, kami akan menerima semuanya. Tapi permasalahannya uang ini tidak berhenti di klien kami,” katanya.

Tapi ada pihak lain yang diduga membuat suatu keadaan tertentu, entah itu membentuk Pokmas atau mengondisikan suatu keadaan dari poses awal hingga terlaksananya hibah, dan itu juga menikmati hasil dari tindak pidana korupsi.

“Di PP 24 tahun 2025 kan mensyaratkan bukan pelaku utama. Permohonan ini bahwa Pak Jonathan merasa bukan pelaku utama, jadi ada pelaku utama yang harus diproses secara hukum,” katanya.

Logika sederhananya, tandas Fadel, apa bisa seorang pelaksana pekerjaan menjadi pelaku utama dalam penerapan, pencairan hibah? Kemungkinannya sangat kecil.

BERKOP INSPEKTORAT: Berita acara kesanggupan bayar masing-masing Rp 10 miliar yang diteken Jonathan dan HA. | Foto: IST

“Sehingga pelaku utama tindak pidana sudah pasti bukan klien kami. Seharusnya pelaku utama tindak pidana adalah yang mengondisikan semua ini, karena yang kami anggap pelaku utama tindak pidana juga menikmati hasil dari tindak pidana korupsi,” ujarnya.

Jadi maksudnya pelaku utama itu HA? “Ya, saya tegas bilang ya. Secara surat yang kami mohonkan PP 24 tidak menyebutkan nama, tapi pasti pada waktu mengirimkan kronologi versi kami, itu menyebutkan nama-nama yang sudah terang dan jelas,” kata Fadel.

Baca juga: Pendapatan APBD Jatim 2026 Surut Rp 1,96 T, Gerindra: Tata Kembali Anak Usaha BUMD!

“Dan nama-nama itu akan kami berikan ke APH. Kami sangat percaya, bahwa pelaku tindak pidana utama ini adalah inisialnya HA. Otak dari suatu perbuatan melawan hukum ini adalah HA tersebut,” tegasnya.

Fadel juga mengungkap adanya proses upaya penyelesaian di luar persidangan yang melibatkan peran Inspektorat Jatim, kemungkinan sebagai penengah dari perkara ini dan akhirnya muncul surat berita acara klarifikasi dan kesanggupan atas pengembalian uang.

Dalam surat disebutkan, HA bersama Jonathan menyatakan menyanggupi mengembalikan masing-masing Rp 10 miliar dengan cara diangsur minimal Rp 500 juta per bulan atas kelebihan pembayaran Rp 40,9 miliar pada pelaksanaan proyek PJU.

“Logika sederhana yang kita terima, kenapa harus ada HA di surat itu? Sudah pasti, orang-orang sebenarnya sudah tahu bahwa HA itu berperan dalam perkara ini,” ucap Fadel.

“Mana mungkin orang yang tidak menjabat, tidak ada di struktur hibah ataupun di struktur Pokmas, ataupun di struktur pengusul, tapi bersedia menandatangani kesanggupan pengembalian kalau dia tidak berperan,” sambungnya.

Tapi karena kesanggupan di surat tersebut tidak terealisasi, sehingga proses hukum berjalan. “Selama bisa memenuhi LH BPK sampai tenggang waktu yang ditentukan, maka tindak pidana itu bisa hapus. Tapi ini tidak dipenuhi,” ucap Fadel.{*}

| Baca berita Korupsi Hibah PJU. Baca tulisan terukur Rofiq Kurdi | Barometer Jatim - Terukur Bicara Jawa Timur


Berita Terbaru

Berita Populer