Airlangga Pribadi Tak Tertarik Bahas Soeharto Pahlawan, Sebut Namanya Saja Ogah!

Reporter : -
Airlangga Pribadi Tak Tertarik Bahas Soeharto Pahlawan, Sebut Namanya Saja Ogah!
ARTI PAHLAWAN: Airlangga Pribadi (kiri) lebih tertarik bahas Gus Dur ketimbang Soeharto. | Foto: Barometerjatim.com/BKT

SURABAYA | Barometer Jatim – Di tengah pro-kontra pemberian gelar Pahlawan Nasional untuk Presiden ke-2 RI Soeharto, Dosen Ilmu Politik Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Airlangga Pribadi Kusman lebih tertarik membicarakan kepahlawanan KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. Bahkan menyebut nama Soeharto saja ogah!

Hal itu terlontar saat Airlangga menjadi narasumber bersama Pakar Hukum Tata Negara, Mahfud MD dalam Diskusi Bersama Rakyat (Diraya) yang digelar Kemenpolstrat BEM Unair dan Center for Statecraft and Citizenship Studies (CSCS) di Gedung Fakultas Hukum Kampus B Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Jumat (14/11/2025).

Setelah mengutip sejumlah pendapat filsuf terkait arti pahlawan dan demokrasi, Airlangga menilai Gus Dur dipandang sebagai pahlawan bukan karena sosok yang dipuja-puji, tapi figurnya menjadi pengingat dan simbol terhadap perjuangan demokrasi.

“Melalui Gus Dur, misalnya kita akan terhubung dengan ingatan-ingatan kolektif sejarah. Pembentukan Forum Demokrasi (Fordem), membangun masyarakat sipil, melawan negara yang sentralistis, itulah fungsi kepahlawanan saat ini,” katanya.

"Oleh karena itu saya tidak menuturkan tentang yang satu yang lainnya, selain dari yang tadi saya utarakan Gus Dur. Yang satunya (Soeharto) saya no comment! Terima kasih," tandas Airlangga yang disambut senyum Mahfud MD dan apalaus peserta diskusi.

PAPARAN: Mahfud MD beri paparan dalam diskusi Diraya di Unair Surabaya. | Foto: Barometerjatim.com/BKTPAPARAN: Mahfud MD beri paparan dalam diskusi Diraya di Unair Surabaya. | Foto: Barometerjatim.com/BKT

Sementara itu Mahfud MD memaparkan, Soeharto memenuhi syarat untuk menjadi Pahlawan Nasional meski terjadi pro-kontra.

Menurutnya, ukuran untuk bisa mendapat gelar pahlawan bukan karena terlibat masalah Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) seperti tuduhan yang selama ini disematkan kepada Soeharto, tapi berdasarkan tinjauan hukum dan di mata hukum "Bapak Pembangunan" itu bisa menjadi pahlawan.

"Kalau di pemerintahannya ada KKN, banyak korupsi, lalu seorang pemimpin tidak bisa jadi pahlawan, kita ndak usah punya pahlawan karena di semua pemerintahan itu korupsinya banyak, mulai zaman Bung Karno sampai sekarang," katanya.

Selain itu, kalau alasannya Soeharto tidak boleh dapat gelar pahlawan karena KKN, tandas Mahfud, maka semua presiden setelahnya juga tidak boleh mendapat gelar tersebut.

"Ndak boleh, karena KKN tetap ada. Nah, oleh sebab itu saya bilang ukuran pahlawan itu bukan KKN, apa ukurannya? Hukum!" tegasnya lagi.

Hukum menyatakan, lanjut Mahfud, orang yang boleh menjadi pahlawan itu ukurannya, pertama, warga Indonesia. Kedua, sudah meninggal dunia.

Ketiga, berjasa dalam memperjuangkan dan mempertahan kemerdekaan. Keempat, mempunyai prestasi luar biasa yang bermanfaat bagi pembangunan bangsa dan negara.

"Nah kalau berdasarkan ukuran itu, Pak Harto itu seperti halnya yang lain, seperti halnya Bung Karno memenuhi syarat (menjadi pahlawan) secara hukum. Dia berjasa, dia berperan mempertahankan lalu memimpin sampai diberi gelar Bapak Pembangunan," tegasnya.

"Lalu syarat berikutnya tidak pernah mengkhianati negara. Itu seluruhnya yang dibuktikan dengan putusan pengadilan. Lalu syarat berikutnya lagi tidak pernah lari dari tugas, artinya disersi. Sedang perang itu lari, ndak berani ngelawan," lanjutnya.

Berdasarkan ukuran-ukuran tersebut, menurut Mahfud, secara hukum Soeharto berhak mendapat gelar pahlawan. Tinggal secara politik yang dibahas masyarakat melalui diskusi atau seminar, baik yang digelar di Pemda serta penilaian di Kemensos dan Menkopolhukam, hingga prerogatif presiden yang memutuskan.{*}

| Baca berita Pahlawan Nasional. Baca tulisan terukur Andriansyah | Barometer Jatim - Terukur Bicara Jawa Timur

Simak berita terukur barometerjatim.com di Google News.