Aktivis FAMI Sebut Gelar Pahlawan Soeharto Bisa Dibatalkan, Ini Syaratnya!
SURABAYA | Barometer Jatim – Gelar Pahlawan Nasional Presiden ke-2 RI, Soeharto alias Pak Harto hingga kini masih menimbulkan pro-kontra. Namun gelar untuk penguasa Orde Baru selama 32 tahun itu masih bisa digugat atau bahkan dibatalkan.
"Bisa dibatalkan tapi harus ada gejolak dulu," kata Fitradjaja Purnama, aktivis sekaligus salah seorang penggagas Front Aksi Mahasiswa Indonesia (FAMI) saat menjadi narasumber dalam acara diskusi "32 Tahun Memperingati FAMI, Memperingati Dimulainya Perlawanan Terbuka Terhadap Soeharto" yang digelar aktivis Prodem di Hotel Great Diponegoro Surabaya, Sabtu malam (13/12/2025).
Hanya saja, Fitra mengingatkan secara sistem suasana saat ini atau pasca reformasi, berbeda dengan zaman Orde Baru yang tidak sekadar otoritarian dan totalitarian, tapi juga tiran yang kemudian menjadikan Soeharto sebagai musuh bersama.
Saat ini, paket Undang-Undang Politik yang dijalankan rezim Soeharto sudah tidak ada lagi. Partai politik (Parpol) pun bermunculan dan peserta Pemilu tidak hanya diikuti Golkar, PDI, dan PPP saja. Pun begitu dengan Dwifungsi ABRI yang memberikan peran ganda militer, sudah dihapus.
Nah, masih menurut Fitra, kondisi inilah yang kemudian memungkinkan beragam penilaian terhadap kekejaman Soeharto selama 32 tahun berkuasa. Sehingga wajar jika gelar pahlawan yang disematkan Soeharto memunculkan pro-kontra.
"Menurut saya, menyampaikan kekejaman Soeharto itu ukurannya adalah kepekaan kita secara nalar dan rasa, hati nurani. Orang punya penilaian itu kan juga tergantung dari nilai-nilai, kalau istilah psikologinya SINA: Sistem Internalisasi Nilai-Nilai Asumsi, setiap manusia itu punya nilai-nilai," paparnya.
Tidak Bisa Ditolelir
Fitra mencontohkan kasus pembantaian PKI. Ada yang menganggap fakta itu tidak benar ataupun menolaknya karena setuju demi membebaskan negara dari pengaruh komunis, yang pada akhirnya menilai Soeharto layak menjadi pahlawan.
Sedangkan bagi para aktivis gerakan atau kelompok-kelompok Prodem, kekejaman era Soeharto adalah pelanggaran yang tidak bisa ditolelir, meski tak sedikit aktivis yang dulu melawan Soeharto kini menjadi kelompok yang pro.
"Kita akan berada di posisi yang mana (pro atau kontra)? Atau kita berada di posisi yang standar. Ini butuh waktu yang lama, anggaplah ini menjadi bagian dari proses dialektika dan problem benturan nilai itu," ucapnya.
Dari kasus pro-kontra inilah, Fitra kemudian membuat penilaian bahwa Soeharto adalah garis batas nilai yang muncul di masyarakat saat ini. Termasuk pertarungan sengit di media sosial terkait gelar Soeharto.
"Bagi saya, Soeharto itu adalah garis batas, adalah ukuran, adalah batas nilai (pahlawan dan penjahat)," ujarnya.
Maka, tandas Fitra, gelar pahlawan Soeharto harus diterima 'suka hati' bahwa betapa kuatnya kekuasaan Cendana -- istilah untuk menyebut keluarga Soeharto yang merujuk alamat rumahnya di Jalan Cendana, Menteng, Jakarta Pusat.
"Kita harus suka hati, bukan sekadar rela tapi harus suka hati menyosialisasikan: Ini lho betapa kuatnya, lahir kembali kekuasaan Cendananya," ucap Fitra.
Soal tema diskusi, Fitra mengulasnya secara gamblang, runtut dan detail terkait lahirnya FAMI sebagai gerakan perlawanan terhadap tirani Rezim Orde Baru yang puncaknya adalah kasus pembunuhan Marsinah, buruh pabrik di Sidoarjo pada 1993. Kemudian perlawanan terbuka secara nasional terus digaungkan hingga Reformasi 1998.
"Memperingati FAMI itu, kalau bagi saya bukan dalam konteks untuk mengulangi sejarah FAMI ataupun untuk mengulangi pola dan model gerakan, tetapi untuk mengingat peristiwa itu sebagai sebuah awal berhadapan dengan Soeharto secara terbuka, mengingat hari ini Soeharto menjadi pahlawan," ucapnya.{*}
| Baca berita Pahlawan Nasional. Baca tulisan terukur Andriansyah | Barometer Jatim - Terukur Bicara Jawa Timur